Minggu lalu, aku mengikuti webinar yang diselenggarakan oleh Auriga Nusantara, Yayasan ASRI dan Blogger Perempuan Network dalam rangka Hari Lingkungan Hidup tanggal 6 Juni 2021. Webinar itu membahas tentang dampaknya karhutla yang berpengaruh kepada rusaknya lingkungan, tatanan ekonomi, hilangnya nyawa binatang dan manusia  bahkan pandemi. 


Karhutla


Aku sempat mikir, kira-kira apa hubungannya kasus kebakaran hutan dan lahan dengan pandemi. Awalnya, mungkin karena kita sekarang berada di masa pandemic Covid-19, maka webinarnya membahas tentang itu. Ternyata, pikiranku salah. Karhutla dan pandemic adalah dua kata yang mempunyai hubungan kausal. 


Webinar kali ini dihadiri dua pembicara dari Auriga Nusantara (Dedy) dan Yayasan ASRI (dr. Alvi Muldani) serta dihadiri oleh Eco Blogger Squad. Auriga Nusantara adalah organisasi non pemerintah yang bergerak dalam bidang upaya melestarikan sumber daya alam dan lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) adalah yayasan non profit yang menggabungkan program kesehatan dan lingkungan sebagai konsep utama dalam pelayanan kepada masyarakat. Blogger Perempuan Network adalah sebuah platform digital dimana seluruh blogger perempuan dari seluruh Indonesia bisa saling belajar, menceritakan dan menginspirasi satu sama lain melalui konten. Komunitas ini sudah berkembang sejak tahun 2015 dan menjadi komunitas blogger terbesar di Indonesia. Eco Blogger Squad adalah komunitas yang beranggotakan para blogger yang memiliki kepedulian terhadap isu lingkungan hidup terutama perubahan iklim dan perlindungan hutan.


Langsung saja ke materi yuk!


Tahun 2015, tahun tertinggi kejadian Karhutla

Kejadian kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia masih terus saja terjadi. Menurut Dedy, kejadian berulang itu memiliki pola tertentu dari segi waktu dan tempat. Kejadian karhutla yang berulang ini terus menyumbang kenaikan emisi karbon yang signifikan secara global. Selama lima tahun terakhir, kejadian Karhutla tertinggi terjadi di tahun 2015. Dan tahun 2015 menjadi tahun terburuk kebakaran dan bencana kabut asap.


Luas Kebakaran Hutan


Ketika bencana karhutla terjadi, El Nino atau saat musim kemarau selalu dituding sebagai pemicu terjadinya kebakaran. Faktanya, tanpa kemarau panjang kebakaran juga tetap terjadi. Faktornya sebenarnya ulah manusia yang di sengaja.


Kebakaran tahun 2015 itu melepaskan lebih banyak karbon ke atmosfer dibandingkan dengan total emisi tahunan Negara ekonomi besar seperti Jepang dan Inggris. Tahun-tahun selanjutnya (2016-2018) memang sempat mengalami penurunan, namun jumlahnya meningkat kembali di tahun 2019. Ada pola waktu yang memang didukung oleh faktor iklim. Di tahun 2019 beberapa emisi gas rumah kaca harian melebihi emisi tahun 2015.


Kebakaran tahun 2019 melepaskan 708 juta ton emisi gas rumah kaca (CO2), hampir dua kali lipat lebih besar daripada kebakaran di sebagian hutan Amazon, Brazil (CAMS, 2019). Jumlah emisi ini lebih dari semua emisi dari industri penerbangan internasional dan diproyeksikan menjadikan Indonesia Negara terbesar ke enam di dunia untuk emisi CO2 secara keseluruhan (setelah Amerika Serikat, Cina, India, Rusia dan Jepang).


Berbeda dengan Negara lain ayng mengalami kebakaran hutan seperti di Australia dimana lahan mineralnya sangat kering. Di Indonesia tidak hanya di lahan mineral tapi juga lahan gambut sehingga saat terjadi kebakaran akan menghasilkan emisi yang berbeda.


Pertanyaan selanjutnya. Dimanakah lokasi kebakaran hutan dan lahan yang paling mendominasi? Adakah yang bisa menebak?


Luas Kebakaran kumulatif


Dari tahun 2015 hingga 2020, luas kebakaran kumulatif dan tahunan paling besar terjadi di Provinsi Sumatera Selatan yang mencapai 1 juta hektar, diikuti oleh Kalimantan Tengah dan Papua. Sebenarnya kejadian karhutla terjadi pada provinsi yang selalu sama. Memang provinsi-provinsi tersebut memiliki karakteristik core bisnis, memiliki lahan industri, banyak industri-industri ekstraktif berbasis lahan seperti di Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Papua. Bahkan Papua sekarang mulai ramai lagi dengan industri sawit dan deforestasi. Di antara provinsi tertinggi tersebut memang memiliki lahan gambut kecuali di NTT dan di Lampung. Hal tersebutlah yang menjadi karakteristik kebakaran hutan dan lahan terjadi pada lahan yang tidak hanya di lahan gambut tetapi juga di lahan non gambut. 


Jika diperhatikan lebih dalam pada diagram berbentuk lingkaran, dimana provinsi-provinsi yang kaya akan lahan gambut ini ketika terjadi kebakaran hebat di tahun 2015-2019, maka akan berkontribusi besar pada bencana asap kebakaran. Kebakaran hutan di Sumatera Selatan terjadi paling besar di tahun 2019. Setelah itu, Kalimantan Tengah yang juga terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cukup besar dan selalu berdalih bahwa kejadian karhutla di sana diakibatkan oleh kesalahan masa lalu. Yang dulunya ada proyek PLG yang paska pengelolaan tidak baik menjadi penyebab berulangnya kejadian karhutla tahun 2015 dan 2019.


Kejadian kebakaran hutan dan lahan di Papua sedikit berbeda dimana kejadian karhutla di Papua cukup tinggi di 2015 dan 2019. Di tahun 2016 tetap tinggi, dan tahun 2017 menurun kemudian naik lagi di tahun 2018 meski selisihnya tidak begitu jauh. Ada karakteristik sendiri kebakaran hutan dan lahan di Papua selain disebabkan oleh pembukaan lahan industri, di Papua juga ada budaya yang dilakukan untuk berburu. Ketika terjadi El Nino, luas kejadian karhutla tetap tinggi dan ketika bulan-bulan basah dia tetap terjadi karhutla. Kejadian karhutla di Papua itu regular tapi terkendali karena dilakukan oleh masyarakat local secara turun temurun.


Sama halnya dengan Riau, dimana provinsi tersebut luasan kejadian karhutla tetap tinggi setiap tahunnya. Sementara provinsi lainnya ada perbedaan yang jauh dari tahun 2015-2019 dimana tahun 2015 dan 2019 angkanya ekstrim tinggi sedangkan tahun setelah itu turun drastis. Beda dengan Riau yang selalu tinggi dari tahun 2015-2019. Hal itu disebabkan oleh Riau mengalami dua kali kemarau di awal tahun dan di akhir tahun. Riau punya dua puncak kebakaran sehingga potensinya lebih tinggi dari provinsi yang lain.


Bagaimana kebakaran hutan itu terjadi di kawasan yang seharusnya di rehabilitasi untuk dilindungi sebagai kawasan hutan dan gambut. 


Di tahun 2015, kawasan hutan itu adalah areal yang ditetapkan sebagai hutan tetap yang fungsinya untuk menjaga kelestarian hutan. Di tahun 2015 kebakaran hutan dan lahan banyak terjadi di kawasan hutan. Hal tersebut menjadi masalah, apakah memang terjadi di kawasan hutan yang tidak dikelola dengan baik atau kawasan hutan yang diberi ijin di atasnya untuk industri ekstraktif? Jika dilihat dari tahun 2015-2019, angka kebakaran di kawasan hutan lebih dari 50% dibanding kebakaran di kawasan non-hutan. 

Kebakaran di Lahan Gambut


Lebih spesifik lagi, kesatuan hidrologis gambut (KHG) juga mengalami kebakaran hutan di tahun 2015 prosentasenya lebih besar sedikit dibanding kawasan non gambut. Meskipun di tahun 2016-2018 kebakaran di lahan gambut mengalami penurunan, namun ketika El Nino atau musim kemarau panjang terjadi maka kebakaran di lahan gambut lebih berbahaya dengan adanya kabut asap dimana apinya menjalar ke dalam tanah dan lebih lama padam.


Ketika lahan gambut rusak dan sudah dikeringkan airnya atau dilakukan kanalisasi, saat musim kemarau lahan tersebut sulit untuk menyerap air sehingga menjadi lahan yang mudah terbakar. Ini menjadi potensi kebakaran berulang. 

Dapur Asap



Pola kebakaran hutan bisa dilihat berdasar citra satelit dari titik-titik panas yang masih indikatif. Pola-pola tersebut berdasar data 20 tahun terakhir. Provinsi-provinsi seperti Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, memiliki pola-pola yang berulang. Misalnya di bulan Januari, provinsi Riau harus sudah mulai antisipasi. Setelah Riau, musim kebakaran terjadi ke Kalimantan Barat. Waktu-waktu terbakar sudah terekam. Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Jambi biasanya relative sama kejadian kebakaran hutan. Setelah tiga provinsi tersebut mereda, maka kebakaran hutan biasa terjadi di Sumatera Selatan. Pada bulan Oktober Sumatera Selatan mereda, selanjutnya Papua mulai terjadi kebakaran hutan.


Dari pola tersebut, maka diketahui lokasi mana yang paling beresiko termasuk provinsi apa, kabupaten dan desa apa, dan waktu yang jelas sehingga ada antisipasi atas kejadian kebakaran hutan dan lahan meskipun El Nino belum data karena dari pola waktu dan tempat itu sudah bisa diperkirakan dari data tersebut. Harapannya jumlah tidak meledak seperti kejadian kebakaran hutan dan lahan di tahun 2019 lalu.

Bulan Ramai Api


Selain itu, dari data tersebut juga muncul kecenderungan tingginya api di beberapa provinsi kaya hutan seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Utara. Padahal dulunya kejadian karhutla, bukan menjadi persoalan,  sekarang lima tahun terakhir muncul episentrum api baru. Seperti pada data kebakaran hutan dan lahan tahun 2021 dimana tiga provinsi tersebut sudah muncul kejadian karhutla. Belum saja selesai menangani kebakaran hutan di lokasi yang lama, sekarang lokasi yang baru juga muncul kejadian tersebut.


Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan

Karhutla bisa disebabkan oleh faktor alami dan manusia. Faktor alami seperti petir, aktivitas vulkanis, dan ground fire. Ketika suhu sangat panas, muncul api dari dalam tanah secara alami. Sayangnya di Indonesia, faktor alam tersebut hanyalah 1%, sedangkan sebagian besar 99% penyebab karhutla berasal dari manusia seperti dari praktek pembukaan lahan, perburuan. Misalnya di NTT yang kaya akan savanna sebagai tempat penggembalaan ternak. Tanah di sana dibakar secara reguler untuk menumbuhkan ternak baru sebagai bahan pakan ternak yang digembalakan. Pembakaran ini juga terjadi untuk perburuan. Pola sama agar rumput tumbuh dan rusa datang sehingga bisa menetapkan lokasi mana yang akan didatangi. Seperti yang terjadi di Taman Nasional di Lampung yang terkenal dengan badak dan gajah. Baru-baru saja terbakar untuk menumbuhkan rumput kemudian rusa datang dan menjadi hewan yang diburu.


Konflik lahan juga menjadi penyebab di kawasan ijin dan kawasan taman nasional. Ada konflik antara pengelola taman nasional dengan masyarakat. Masyarakat sengaja membakar karena tidak suka. Aktivitas lain seperti punting rokok dan bisa menyebabkan kebakaran.


Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Dampaknya tentu mengancam hilangnya habitat dan penurunan populasi tumbuhan dan satwa liar. Dampak lainnya dari sisi kesehatan, pendidikan dan transportasi. Banyak sekolah yang libur akibat asap kebakaran. Penerbangan juga terpaksa ditutup karena asap kebakaran mengaburkan jarak pandang. Selain itu, pemanasan global dan perubahan iklim juga menjadi dampak kebakaran hutan dan lahan. Kerugian Indonesia dari dampak kebakaran mencapai Rp. 72,95 triliun.


Kebakaran di areal HTI, Sawit, dan Kawasan Konservasi

Di tahun 2015, kebakaran di kawasan konservasi, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Sawit sama-sama tinggi. Hasil investigasi Mas Dedy dan tim, tiga jenis kawasan tersebut yang terbakar di tahun 2015 hampir 400 hektar berubah menjadi tanaman di tahun 2019. Seolah-olah ada faktor kesengajaan untuk dibuka, dikeringkan gambutnya dan dibakar.

Kebakaran areal HTI


Peran Korporasi dalam Karhutla 2019

Tim Mas Dedy melakukan investigasi, apakah Karhutla disebabkan oleh masyarakat. Ternyata ada tiga perusahaan sengaja mengeringkan gambut, di tahun yang sama mereka mengeringkan gambut dan dibakar kemudian ditanami tanaman di atasnya. Pola- pola kebakaran yang dilakukan dengan merusak gambut dahulu memang sering terjadi.


Deforestasi Indonesia: Menyasar Provinsi Kaya Hutan

Rusaknya hutan untuk dipersiapkan untuk pertanian dan perkebunan trendnya mulai bergeser. Yang tadinya di Indonesia bagian barat dan tengah, sekarang sudah bergeser ke timur, seperti Papua yang sekarang beresiko kehilangan hutan. Dan ini menjadi persoalan yang baru. Deforestasi tidak hanya menyebabkan kebakaran dan juga faktor lain misalnya menjadi pemicu pandemic Corona.


Pelepasan Kawasan Hutan: Pencadangan Deforestasi di Tanah Papua

Hutan alam yang dilepaskan untuk perkebunan sawit dan penggunaan lahan lainnya sebanyak 1,3 juta. Sementara non hutan alam yang dilepaskan sebanyak 270 hektar. Sebenarnya tidak melanggar aturan hanya saja hutan kita yang banyak tersisa di Papua harus dilepaskan juga menjadi kebun. Dari 1,3 juta hektar itu, sebanyak 500 ribu hektar sudah berubah menjadi perkebunan sawit.


Masih ada 1,1 juta hutan yang masih bisa diselamatkan untuk MENGHENTIKAN DEFORESTASI. Meskipun tren deforestasi menurun tapi kita harus menghentikannya sebelum dampak-dampak deforestasi dan kebakaran hutan terjadi.


Apa yang harus dilakukan?

Kita memang sudah memiliki kebijakan moratorium hutan dan gambut. Diharapkan moratorium ini tetap berjalan. Paling tidak, yang saat ini ada tidak berkurang ataupun diperluas karena masih banyak kekurangan dari moratorium hutan dan gambut.


Meningkatkan penegakan hukum. Dari beberapa kasus laporan atau persidangan sangat sedikit sekali yang bisa dieksekusi dari kasus kebakaran hutan. Apalagi kebijakan omni bus law sangat berpotensi untuk lolos atau hutan hilang. Restorasi hutan dan gambut terdegradasi.


Selain itu, penting untuk mendukung komunitas pemadam kebakaran dan kapabilitas pemantauan, membangun infrastruktur hidrologis untuk mendorong kapasitas respon dini, dan memberi insentif ekonomi untuk tidak membakar. Untuk lokasi yang sudah terdegradasi seharusnya dibangun infrastruktur hidrologis.


Yang paling mudah jika suatu badan atau perusahaan melakukan kejahatan atas lingkungan adalah dengan tidak membeli produk dari perusahaan tersebut. 


Zoonosis Deasease, Akibat Deforestasi

Salah satu dampak tak langsung dari kebakaran hutan dan lahan dari sisi kesehatan adalah terjadinya pandemi. Pandemi penyakit Corona (Covid-19) dipercaya dipicu oleh transmisi virus dari hewan ke manusia dimana menjadi pemicu fokus terhadap penyakit-penyakit zoonosis yang disebarkan hewan yang dipaksa meninggalkan habitat aslinya karena kerusakan hutan yang semakin meningkat.


Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang secara alami bisa ditransmisikan dari ventebrate ke manusia. Terdapat sekitar 200 penyakit zoonosis. Beberapa penyakit zoonosi seperti rabies bisa dicegah dengan vaksinasi atau dengan metode lain.


Pandemic sendiri disebabkan oleh beberapa hal seperti organism spesifik dan telah bersamaan dalam beberapa ribu tahun namun tidak menyebabkan penyakit. 


Misalnya, ketika ada bakteri di kulit kita, kita merasa baik-baik saja. tapi ketika terjadi spill over atau perpindahan penyakit dari hewan ke manusia. Dan biasanya virus itu akan punya kunci untuk ke sel tubuh dan menginfeksi individu. Kunci itu berupa protein dan lainnya. Pada suatu kejadian, virus itu akan masuk ke tubuh manusia. Ketika kita sering terpapar oleh makhluk liar, akan semakin tinggi akan terpapar virus itu sehingga bisa menjadi breakout atau wabah. Misalnya dari kelelawar pindah ke Pangolin kemudian pindah ke manusia. 



Kontak makhluk liar dengan manusia dengan cara domestikasi, habitat liar terganggu, perdagangan hewan liar. Menurut Dokter Alvi harusnya makhluk liar itu ada di dalam liar dan tidak boleh berinteraksi dengan alam liar hingga suatu saat itu memiliki virus dan punya kunci yang bisa masuk ke dalam tubuh manusia. Dan ketika itu terjadi maka akan menimbulkan masalah yang hebat.  


Ketika habitat liar terganggu, mereka akan kehilangan sumber makan dan tempat berlindung sehingga akan mencari ke permukiman manusia. Kemudian terjadi interaksi dengan manusia. Di Kalimantan Barat banyak interaksi antara hewan dan manusia. Perdagangan liar akan mengambil langsung hewan liar tersebut kemudian dijual di pasar. Interaksi hewan liar satu dengan yang lain sehingga bisa mendapat kunci untuk masuk ke dalam tubuh manusia. 


Ketika sudah wabah, virus itu bisa semakin cepat menyebar melalui perjalanan udara, urbanisasi dan perubahan iklim. Saat ini perjalanan udara sudah cukup mudah dan sering sehingga ketika terjadi wabah di suatu Negara mungkin akan menulari warga di Negara lain. Begitu juga dengan urbanisasi dimana tempat tersebut penduduk lebih padat. Perubahan iklim juga berpengaruh pada penularan wabah. Kenaikan suhu bumi membuat banyak makhluk yang mencari tempat yang dingin. Misalnya di Amerika Utara ada penyakit namanya Climb Deasease.


Timeline Pandemi

Seribu tahun yang lalu, populasi manusia masih sedikit. kemudian sudah mulai banyak dan terjadi Athenian Plague di Yunani (sekitar 20% penduduk yang meninggal), Justinian Plague (setengah penduduk dunia meninggal), Black Death disebabkan oleh tikus (seperempat penduduk dunia meninggal), kolera, Spannish influenza (pandemic paling mengerikan karena mematikan sepertiga penduduk dunia), HIV/AIDS (ditulari dari simpanze di Afrika yang dimakan dagingnya), dan Multiple Pandemics.




Pencegahan dan Kontrol

Salah satu penyebabnya zoonosis adalah domestikasi. Guideline yang aman dan sesuai dalam perawatan hewan di sector pertanian untuk menurunkan potensi foodborne zoonosis. Cara yang dilakukan bisa dengan memisahkan antar hewan ternak sehingga tidak menulari hewan lain dan menjadi kunci untuk masuk ke manusia. Selain itu, promosi mencuci tangan yang benar untuk mencegah penularan di masyarakat. 


Akhir-akhir ini banyak terjadi resistensi antibiotic karena terlalu sering memakai antibiotic lama kelamaan bakteri dalam tubuh kita akan menganggap hal yang biasa. 


Lalu bagaimana dengan menjaga hutan dan lingkungan?

Banyak orang yang menggantungkan hidup dengan hutan sekitar 1,6 miliar. Sehingga resiko bertemu kehidupan liar lebih tinggi. Penebangan pohon merubah lingkungan, ekosistem dan mempengaruhi kemunculan penyakit dan transmisinya (Taylor 1997).


Konversi lahan bisa meningkatkan penyebaran virus karena rodensia (Morand, et al, 2019). Di Amerika Selatan terjadi deforestasi yang tinggi. Deforestasi diasosiasikan dengan munculnya pathogen pada kelelawar di seluruh dunia karena fragmentasi habitat yang mengisolasi populasi, perubahan tingkah laku, menurunnya biodiversitas dan menurunnya fungsi ekosistem (Willig, et al, 2019). Pathogen yang dimaksud adalah henipaviruses di Afrika, Hendra Virus di Australia dan Nipah Virus di Malaysia. Ketika terjadi fragmentasi hutan, vector berkembang biak di perbatasan manusia dan hutan.


Virus Nipah

Virus Nipah berasal dari kelelawar buah di Asia Tenggara yang berinteraksi dengan babi dan menyebar di antara manusia. Angka kematiannya mencapai 75% dan menyebabkan wabah berulang di tahun 1998. Salah satu penyebabnya adalah deforestasi dari lading berpindah dan menyebabkan kabut dan menyebarnya wabah virus Nipah di Malaysia. Gejalanya lebih ke otak dan syaraf. Di Malaysia, kontak langsung dengan babi. 


Kenapa harus kelelawar terus? Karena kelelawar adalah mamalia dan bisa terbang. Belum lagi, kelelawar memiliki sistem imun yang berbeda sehingga ketika banyak pathogen (agen penyebab infeksi virus) dalam kelelawar tapi hewan itu tidak terlihat ada virus di dalamnya atau tidak.


Sebenarnya masih banyak virus yang disebabkan oleh hilangnya habitat atau deforestasi tapi aku hanya memberi contoh di atas.


Sudut pandang Covid-19 dari sisi lingkungan

Asal Covid-19 memang belum ditemukan secara pasti, tapi virus serupa sudah ditemukan. Sunda Pangolin bersinggungan dengan horsehoe bat di Asia Tenggara dan tinggal di hollow tree. Di fragmen hutan urban Malaysia ditemukan sunda Pangolin walaupun diversitas rendah. Hal ini membuktikan bahwa hewan ini bisa bertahan dif ragmen hutan karena bersinggungan dengan manusia dan hewan lain lebih tinggi dan berpotensi menyebabkan potensi zoonosis. Pangolin diburu di Malaysia dan Vietnam kemudian diimpor secara illegal untuk dimanfaatkan daging, kulit dan sisiknya.


Dari penjelasan dokter Alvi, bisa disimpulkan bahwa segala penyakit infeksi ini berasal dari zoonosi yang memiliki kaitannya dengan lingkungan (fragmentasi hutan). Ketika terjadi deforestasi, maka beberapa spesies menurun, namun beberapa spesies bisa beradaptasi yang bisa meningkatkan resiko zoonosis. oleh karena itu, harusnya manusia perlu menyeimbangkan produksi makanan, komoditi hutan dan barang lainnya dengan tetap menjaga hutan. Konservasi hewan liar dapat membantu hewan liar tetap berada di habitatnya dan tidak menyebarkan patogennya. 

Akhir kata, akhiri deforestasi!